“Menjual” produk UMKM Maluku di ajang Presidensi G20 RI

Ambon – “Mimpi saja tak sempat ketika kopi tuni bisa ‘parkir’ di acara G20,” kata Ketua Yayasan Kopi Maluku Deltawan Viqjelen Kusaly dengan penuh rasa bangga ketika kopi tuni mendapat tawaran mewakili Maluku untuk tampil dalam ajang internasional G20.

Pria yang akrab disapa Dev itu ketika ditemui ANTARA di sebuah kedai di kawasan Pantai Amahusu, Kota Ambon, akhir September 2022, tidak menyangka jika kopi tuni — kopi khas Maluku– bisa hadir dalam ajang internasional tersebut.

Kopi tuni bersama tas dari Kabeta Craft, produk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dari Maluku menjadi cenderamata pada acara G20 Sustainable Finance Working Group (SFWG) di Bali pada 14-15 Juni 2022. G20 SFWG Meeting merupakan rangkaian kegiatan Presidensi G20 Indonesia 2022 pada jalur keuangan, Acara ini diselenggarakan secara hybrid dan dihadiri oleh anggota G20, beberapa negara undangan, dan berbagai organisasi internasional.

Kopi tuni dan Kabeta Craft masuk dalam daftar vendor resmi untuk suvenir kegiatan G20 di Indonesia. Keduanya terpilih dengan fasilitasi dari Unit Kerja Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Wilayah Maluku.

Setiap peserta dari forum G20 SFWG mendapat oleh-oleh berupa tas Kabeta Craft warna biru yang di dalamnya ada sekantong kopi tuni ukuran 150 gram. Terlihat sederhana, namun dampak positif dari partisipasi di panggung G20, dirasakan luar biasa. Penjualan komoditas perkebunan itu melonjak dari omzet Rp29,85 juta pada 2021, menjadi Rp46 juta hingga triwulan III tahun 2022.

Mengenal kopi tuni

Dalam dunia kopi, selama ini dikenal berbagai jenis kopi, diantaranya jenis kopi arabica, robusta dan liberica. Namun, ada jenis lainnya yang sering disebut dengan istilah single origin atau kopi khas daerah tertentu dengan banyak varian jenis maupun citarasa.

Kopi tuni yang ukuran bijinya kecil termasuk dalam varian single origin. Kopi ini memiliki perbedaan yang sangat unik dibandingkan dengan arabica, robusta maupun liberica.

Pohon kopi tuni tumbuh di berbagai pulau di Maluku dengan sebarannya mulai dari pesisir hingga area pegunungan. Dengan demikian, citarasa kopi tuni bisa berbeda-beda tergantung daerah asal kopi tuni tumbuh dan jenis pohon penaungnya. Ada yang rasa cengkeh, kenari, pala, durian, mangga, wine, kacang dan lainnya. Perilaku petani Maluku cenderung menggunakan teknik tumpang sari dalam bertani.

Sementara itu, tata kelola kopi di Maluku lebih berbasis sosial ekonomi kerakyatan, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup petani dan UMKM di Maluku. Oleh karena itu, kemudian lahir wadah-wadah yang menaunginya, seperti Yayasan Kopi Maluku telah berdiri pada tahun 2019.

Dev lebih lanjut mengatakan, setelah keterlibatannya dalam kegiatan G20 banyak yang menghubungi untuk memesan kopi tuni mulai dari perorangan, instansi pemerintah maupun lembaga-lembaga. Tapi, tidak semua pesanan bisa dipenuhi karena pengelolaan kopi tuni memegang teguh skema berbasis koperasi dan pemberdayaan di tingkat petani.

Selain itu, pengembangan kopi tuni juga menggunakan konsep kelangkaan (scarcity) sehingga mereka selektif untuk menjual kopi tuni dalam bentuk biji (green bean). Kopi tuni merupakan kopi endemik Maluku. Kopi tuni nyaris tidak dikenal pada tiga tahun yang lalu. Biji kopinya mungil dan belum ada nama latinnya.

Kini peluang pasar kopi tuni mulai terbuka, sehingga ada pergeseran psikologi di kalangan petani binaan Koperasi Seribu Kopi Maluku yang dinaungi oleh Yayasan Kopi Maluku. Kopi tuni kini sudah menjangkau pasar tidak hanya di zona Maluku, melainkan juga di Jakarta, Bandung, Lampung, Makassar, Surabaya, Papua hingga Amerika Serikat.

Mengenal kopi tuni

Dalam dunia kopi, selama ini dikenal berbagai jenis kopi, diantaranya jenis kopi arabica, robusta dan liberica. Namun, ada jenis lainnya yang sering disebut dengan istilah single origin atau kopi khas daerah tertentu dengan banyak varian jenis maupun citarasa.

Kopi tuni yang ukuran bijinya kecil termasuk dalam varian single origin. Kopi ini memiliki perbedaan yang sangat unik dibandingkan dengan arabica, robusta maupun liberica.

Pohon kopi tuni tumbuh di berbagai pulau di Maluku dengan sebarannya mulai dari pesisir hingga area pegunungan. Dengan demikian, citarasa kopi tuni bisa berbeda-beda tergantung daerah asal kopi tuni tumbuh dan jenis pohon penaungnya. Ada yang rasa cengkeh, kenari, pala, durian, mangga, wine, kacang dan lainnya. Perilaku petani Maluku cenderung menggunakan teknik tumpang sari dalam bertani.

Sementara itu, tata kelola kopi di Maluku lebih berbasis sosial ekonomi kerakyatan, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup petani dan UMKM di Maluku. Oleh karena itu, kemudian lahir wadah-wadah yang menaunginya, seperti Yayasan Kopi Maluku telah berdiri pada tahun 2019.

Dev lebih lanjut mengatakan, setelah keterlibatannya dalam kegiatan G20 banyak yang menghubungi untuk memesan kopi tuni mulai dari perorangan, instansi pemerintah maupun lembaga-lembaga. Tapi, tidak semua pesanan bisa dipenuhi karena pengelolaan kopi tuni memegang teguh skema berbasis koperasi dan pemberdayaan di tingkat petani.

Selain itu, pengembangan kopi tuni juga menggunakan konsep kelangkaan (scarcity) sehingga mereka selektif untuk menjual kopi tuni dalam bentuk biji (green bean). Kopi tuni merupakan kopi endemik Maluku. Kopi tuni nyaris tidak dikenal pada tiga tahun yang lalu. Biji kopinya mungil dan belum ada nama latinnya.

Kini peluang pasar kopi tuni mulai terbuka, sehingga ada pergeseran psikologi di kalangan petani binaan Koperasi Seribu Kopi Maluku yang dinaungi oleh Yayasan Kopi Maluku. Kopi tuni kini sudah menjangkau pasar tidak hanya di zona Maluku, melainkan juga di Jakarta, Bandung, Lampung, Makassar, Surabaya, Papua hingga Amerika Serikat.

Kabeta mulai memakai tenun ikat Maluku sejak 2019 untuk keunikan produknya. Novi mengkombinasikan kain tenun menjadi dompet dan tas yang bisa digunakan untuk aktivitas sehari-hari maupun untuk acara resmi.

Sebelum mewakili UMKM dari Maluku, produk-produk dari UMKM ini melalui proses kurasi dari tim Kemenkeu. Produk UMKM tersebut dinilai layak masuk ajang G20.

Setelah itu, tim Kemenkeu menanyakan adakah produk lain di Maluku yang bisa mengisinya. Setelah memilah beberapa produk UMKM, akhirnya kopi tuni dipilih karena endemik Maluku dan kopi sedang jadi tren saat ini. Kedua UMKM tersebut kemudian diminta untuk memenuhi permintaan 75 tas termasuk kopi dalam waktu tiga minggu.

Peningkatan Daya Saing UMKM

Berdasarkan data Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Maluku, pada 2021 tercatat ada 38.518 pelaku UMKM di daerah itu. Namun, produk UMKM Maluku dinilai belum kompetitif karena ongkos kirim dan baku yang belum bisa diproduksi di Maluku.

Hal tersebut hingga kini menjadi perhatian dari Bank Indonesia (BI) untuk secara konsisten membina UMKM di Maluku. Kepala Perwakilan BI Provinsi Maluku Bakti Artanta mengatakan, yang terpenting adalah mengubah pola pikir pelaku UMKM dan pemangku kebijakan untuk maju bersama.

Kabeta Kraft dan kopi tuni sebagai binaan BI yang terpilih untuk ajang G20 menunjukkan bahwa proses pembinaan yang dirintis sudah membuahkan hasil. Mereka bisa jadi model untuk membangun ekosistem kolaboratif sesama pelaku UMKM untuk menjangkau peluang ekspor ke pasar yang lebih luas.

Produk UMKM Maluku perlu menonjolkan kearifan lokal sehingga ketika disandingkan dengan produk sejenis dari daerah lain tetap punya nilai lebih. Meski tenun Maluku harganya lebih mahal dari tenun Flores, namun punya faktor pembeda yang membuat pembeli rela membayar lebih.

Selain itu, pemerintah daerah perlu membuat regulasi sehingga produk lokal bisa bersaing. Salah satunya dalam bentuk kebijakan subsidi ongkos angkut untuk produk UMKM dan perikanan agar menekan biaya ongkos kirim ke luar Maluku. Maluku bisa berjaya ketika semua pihak bergerak bersama, baku gandeng untuk maju. (Ant)